Minggu, 19 Maret 2017

Kisah Menyentuh: Kehidupan Si Kaya dan Si Miskin


Tinggal di Rumah Reyot Nenek Ini Selalu Baca Yassin Saat Angin Bertiup Kencang


TRIBUNNEWS.COM, MARTAPURA - Di usianya yang sudah memasuki setengah abad lebih, bukan berarti Maimuzah (56) hanya bermalas-malasan, duduk santai ataupun berbaring di kediamannya.
Warga Desa Melayu Tengah RT 1 Kecamatan Martapura Timur itu, harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan sehari-hari ia, anak dan dua cucunya.
Seperti yang terlihat, Selasa (24/1/2017) siang itu, ia nampak sibuk membuat kerupuk Opak. Adonan cemilan tersebut kemudian ia pipihkan dan susun rapi di atas selembar tikar sebelum akhirnya dijemur di bawah terik matahari.
Namun siapa sangka, ditengah proses panjang pembuatan tersebut, Muzah hanya mengambil untung seribu rupiah perbungkus Opaknya.
Sementara di tengah usianya yang sudah renta, ia juga hanya bisa berjualan seminggu sekali. Itupun menurutnya bila kondisinya sehat dan bugar.
"Sedangkan hampir sebulan ini Nini tidak jualan lagi karena badan kurang sehat. Nini sebetulnya hemat di mulut tapi boros di pantat. Kenapa? Karena demi menjajakan ke sana-sini kan perlu ongkos. Sisanya baru digunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari," ujarnya.
Namun Muzah setidaknya sedikit beruntung. Pasalnya beban tersebut tidak ia pangku seorang diri, melainkan dengan putrinya.
Melalui hasil penjualan kecil-kecilan berupa gorengan, tak jarang Maulida mampu membawa pulang sekitar Rp 20 ribu perharinya.
"Ya Alhamdulillah, kalau untuk makan sehari-hari sih kami masih bisa. Termasuk bila memenuhi keperluan sekolah dua anak saya," ujarnya.
Namun hanya saja, jumlah tersebut tentu tak cukup bagi mereka memperbaiki rumah yang kini ditempati.

Berangsur sudah sekitar lima tahun tinggal di bawah rumah yang reyot dan berlubang, tak jarang rasa was-was kerap meliputi Muzah beserta keluarganya.
Terutama saat hujan deras dan angin kencang melanda, rembesan air pun kerap masuk ke dalam rumahnya.
Tak hanya itu, Muzah juga kerap berdoa agar rumah yang kini ia tempati bersama keluarganya, tidak roboh diterpa angin puting beliung.
"Ya gimana enggak was-was, kalau saat itu rumah sudah reyot ini terasa bergoyang. Kawatir kalau roboh, saya pun tak jarang baca yasin dan berdoa," ujarnya.
Sedangkan putri Muzah, Maulida mengaku rumahnya tersebut sebetulnya memang pernah dijanjikan akan mendapatkan program bedah rumah dari Dinsos Kabupaten Banjar pada 2016 lalu.
Namun mengingat adanya kekurangan terhadap kelengkapan persyaratan yang mesti dipenuhinya.
Hingga program pemerintah tersebut pun urung kini ia dapatkan.
"Sebelumnya memang sempat diurus dan dilengkapi saat itu. Hanya satu surat saja lagi yang belum masuk, sehingga pelaksanaan bedah rumah pun batal," ujarnya.
Seiring itu, Maulida pun mengaku tak jarang kerap meneteskan air mata bila teringat batalnya bedah rumah tersebut.
Meski upaya kecil juga pernah dilakukan lewat mengikuti arisan papan kalsibot. Itupun material yang dia dapat sejak dua tahun lalu hanya nampak tersender di dinding ruang tamunya.

"Karena untuk memasangnya pun kami belum punya biaya. Jadi ya terpaksa didiamkan begitu saja," katanya.
Sedangkan Kades Melayu Tengah, Fauzi saat dikonfirmasi mengenai hal itu mengaku sudah mengetahuinya.
Menurutnya, ia sebetulnya memang berniat hendak membantu memperbaiki kediaman warganya itu.
Namun mengingat penggunaan dana desa mesti harus melalui mekanisme yang tepat, sehingga ia pun tak ingin gegabah.
"Niat dan rencana memang ada. Hanya saja sebelum melaksanakannya, saat ini saya pun masih mempelajari peraturan berupa permendes dan perbup. Karena kalau menunggu bantuan pemerintah lama, kan kasian," terang Fauzi kepada Metro Banjar.(Banjarmasin Post/Abdul Ghanie)



Lihat tayangan vieonya di

Kadin: Tingkat Kelaparan RI Sudah Memprihatinkan


TEMPO.COJakarta - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta W. Kamdani, mengatakan tingkat kelaparan di Indonesia memprihatinkan. Global Hungry Index (GHI) Indonesia pada 2016 tercatat sebesar 21,9 persen.

"Indeks tersebut menandakan level serius," kata dia dalam acara Responsible Business Forum and Food and Agriculture di Hotel Hyatt, Jakarta, Selasa, 14 Maret 2017. 

GHI mencatat proporsi masyarakat kekurangan gizi mencapai 7,6 persen. Bayi di bawah lima tahun yang mengalami wasting sebanyak 13,5 persen dan stunting sebanyak 36,4 persen. Sementara rasio angka kematian anak di bawah lima tahun mencapai 2,7 persen. 

Shinta mengatakan posisi Indonesia di antara negara ASEAN hanya berada di atas Laos dan Myanmar. Menurut dia, Indonesia menjadi satu dari sembilan negara yang akan mendapatkan perhatian lebih dari dunia karena mengalami kekurangan gizi. Negara lainnya adalah Amerika, Etiopia, India, Kongo, Nigeria, Pakistan, Tanzania, dan Uganda.

Shinta mengatakan tingkat kelaparan di Indonesia dapat ditekan salah satunya dengan meningkatkan ketahanan di sektor pangan dan pertanian. Upaya tersebut juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Khususnya, poin kedua yaitu menghindari kelaparan. 

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan ketersediaan pangan telah menjadi prioritas negara. Terlebih lagi dengan tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi di Indonesia yaitu 1,49 persen per tahun, kebutuhan pangan semakin melonjak. 

"Kami harus menyediakan suplai pangan berkelanjutan dengan mengembangkan sektor pertanian," kata Bambang di depan forum yang sama. Namun ia mengatakan pengembangan sektor pertanian menghadapi banyak tantangan.

Lebih jauh, Bambang mengatakan tantangan pengembangan sektor pertanian berkelanjutan meningkat karena dampak negatif dari perubahan iklim. Selain itu, lahan pertanian di Indonesia sudah banyak beralih fungsi. Dampaknya, lahan milik petani berkurang dan produktivitas petani menurun. 

Bambang mengatakan porsi kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia menurun drastis. Pada 2005, kontribusinya mencapai 30 persen namun menurun hingga menjadi 10 persen pada 2013. "Ini peringatan bagi kami untuk menjaga sektor pertanian," katanya. 

Untuk membahas langkah ke depan, Kadin bersama dengan Global Initiatives, PISAgro, dan Dewan Bisnis untuk Pembangunan Berkelanjutan Indonesia menyelenggarakan Responsible Business Forum on Food and Agriculture (RBF). Forum digelar pada 14-15 Maret di Hotel Hyatt Jakarta. 

Edisi keempat RBF ini mengumpulkan lebih dari 450 pihak pembuat kebijakan dari bisnis, pemerintah, pengusaha teknologi, NGO, dan petani. Tujuannya, untuk membangun pendekatan-pendekatan baru untuk memajukan keamanan pangan dan nutrisi di Asia. RBF mengeksplorasi inovasi dalam meningkatkan produksi pangan berkelanjutan dan melibatkan petani-petani kecil dalam rangka memperbaiki nutrisi dan kesehatan dalam kawasan ASEAN. 
VINDRY FLORENTIN